#trik_pojok { position:fixed;_position:absolute;bottom:0px; left:0px; clip:inherit; _top:expression(document.documentElement.scrollTop+ document.documentElement.clientHeight-this.clientHeight); _left:expression(document.documentElement.scrollLeft+ document.documentElement.clientWidth - offsetWidth); }

Refleksi Menatap Masa Depan

Selamat Datang,,, Be Life Excellence... Hiduplah untuk yang Maha Hidup...

Rabu, 02 Maret 2011

Pergeseran Konsep dan Strategi Ketahanan Pangan




Ketika pertama kali dikenalkan dalam konferensi pangan dunia tahun 1974, konsep dasar ketahanan pangan dimaknai sebagai: situasi dimana terdapat ketersediaan pangan yang cukup dan dengan harga yang stabil sepanjang waktu. Ketersediaan pangan yang cukup diartikan sebagai situasi dimana jumlah bahan pangan yang dibutuhkan oleh seluruh penduduk tersedia cukup baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas. Harga pangan yang stabil diartikan sebagai situasi dimana harga pangan tidak mengalami kenaikan yang berarti sepanjang waktu. Pengertian ini menempatkan penyediaan pangan dan stabilisasi harga sebagai dua pilar utama strategi penguatan ketahanan pangan di banyak negara, termasuk di Indonesia, dalam periode 1970-an.

Dalam perkembangannya, konsep ketahanan pangan mengalami perluasan makna, yakni: dari berpenekanan pada  aspek ketersediaan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk menjadi berorientasi pada hak setiap orang memperoleh pangan yang cukup sepanjang waktu. Makna yang terakhir ini secara eksplisit dinyatakan definisi ketahanan pangan yang dikemukakan oleh FAO dalam konferensi pangan dunia tahun 1996, yaitu: “ketahanan pangan [baru] terjadi ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomis pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan makanan dan seleranya dalam rangka kehidupan yang sehat dan aktif.” Definisi ketahanan pangan versi FAO ini merupakan definisi yang paling luas digunakan dewasa ini. Di dalamnya terkandung pengertian bahwa sebuah negara tidak dapat dikatakan memiliki ketahanan pangan yang mantap apabila masih ada penduduknya yang kelaparan atau kurang gizi.
Ketahanan pangan adalah misi setiap negara. Ini karena akses terhadap pangan merupakan hak azasi manusia yang harus dijamin negara. Di samping itu, terdapat sedikitnya tiga alasan lain dari pentingnya upaya penguatan ketahanan pangan; Pertama, penguatan ketahanan pangan berarti meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pangan sehingga mereka dapat hidup produktif untuk dapat meningkatkan status kehidupan ekonominya. Ini sejalan dengan tujuan pembangunan Abad 21: pengurangan jumlah orang miskin dan kelaparan. Kedua, penguatan ketahanan pangan diperlukan dalam rangka menyediakan sumberdaya manusia sehat dan berkualitas untuk meningkatkan produktifitas dan daya saing nasional. Ketiga, penguatan ketahanan pangan juga meningkatkan keamanan nasional. Tersedianya akses terhadap pangan yang cukup bagi semua dapat mencegah terjadinya permasalahan-permasalahan kerawanan sosial di masyarakat yang dipicu oleh situasi kerawanan pangan.]
Aspek-Aspek Strategis Dalam Ketahanan Pangan
Berdasarkan pada konsep dasar ketahanan pangan di atas, aspek strategis dalam ketahanan pangan dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: ketersediaan, stabilitas, akses dan penggunaan pangan. Ketersediaan pangan dan stabilitas merupakan aspek ketahanan pangan di tingkat makro sedangkan akses pangan dan penggunaan pangan adalah aspek ketahanan pangan di tingkat mikro. Terpenuhinya kondisi masing-masing aspek ini secara simultan adalah syarat multak untuk ketahanan pangan yang mantap dapat terwujud.
 Aspek Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan memiliki dua sisi, yaitu: sisi pasokan pangan dan sisi kebutuhan pangan penduduk.  Pada sisi pasokan, ketersediaan pangan terkait dengan kapasitas produksi dan perdagangan (impor/ekspor) pangan. Tergantung pada kapasitas produksi yang dimilikinya, sumber pasokan pangan suatu negara dapat bersumber dari produksi domestik, impor atau kombinasi produksi domestik dan impor. Kapasitas produksi pangan merupakan fungsi gabungan serangkaian faktor, meliputi: luas lahan, agroklimat, infrastruktur, dan teknologi. Semakin besar kapasitas produksi pangan yang dimiliki semakin kecil ketergantungannya pada sumber impor atau bahkan tidak bergantung sama sekali (Swasembada). Kondisi ideal terjadi pada negara yang memiliki kapasitas produksi yang memadai kebutuhan seluruh penduduknya dan juga memiliki ketahanan pangan yang mantap, seperti di Amerika Serikat, Australia dan Brunei. Namun, tidaklah berarti bahwa sebuah negara dengan kapasitas produksi pangan cukup akan otomatis juga memiliki ketahanan pangan yang mantap, seperti di Indonesia, Philipina dan Myanmar. Ini dimungkinkan karena negara dimaksud  masih memiliki kelemahan pada aspek-aspek ketahanan pangan selain ketersediaan pangan.
Pada sisi kebutuhan pangan penduduk, ketersediaan pangan berhubungan terutama dengan faktor jumlah penduduk dan pola konsumsi pangannya. Jumlah penduduk dan pola konsumsinya menentukan jumlah dan kualitas pangan yang dibutuhkan atau yang perlu disediakan. Pertumbuhan jumlah penduduk berarti jumlah pangan yang harus disediakan semakin banyak untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk. 
Sementara itu, dinamika faktor-faktor kapasitas produksi pangan menunjukan kecenderungan yang terus menurun. Luas lahan cenderung menurun dari tahun ke tahun. Kondisi agroklimat cenderung berubah seiring dengan peningkatan degradasi lahan dan peningkatan suhu global. Infrastruktur pendukung produksi pangan (jaringan irigasi) juga menunjukan kecenderungan penurunan kualitas seiring dengan meningkatnya alih fungsi lahan pertanian akibat urbanisasi, terutama di negara-negara sedang berkembang. Perkembangan teknologi produksi pangan dinilai oleh banyak kalangan belum mampu menghasilkan lonjakan produktivitas yang berarti sebagaimana capaian teknologi dalam era revolusi hijau tahun 1970-an.
 Aspek Stabilitas Penyediaan Pangan
Subsistem produksi pangan tersusun atas unit-unit usahatani yakni para petani membudidayakan tanaman dan atau hewan untuk memproduksi bahan pangan yang bersifat musiman dan spesifik lokasi. Faktor lokasi adalah penting kerena proses produksi pangan umumnya juga membutuhkan kondisi lingkungan alamiah (seperti tanah, air, dan sinar matahari) yang mendukung, disamping menggunakan sarana produksi (seperti benih/bibit, pupuk dan bahan kimia lainnya). Sebagai pengelola usahatani, para petani dapat mengendalikan jumlah dan kualitas sarana produksi yang digunakan dalam proses produksi pangannya, tapi mereka umumnya tidak dapat mengendalikan faktor kondisi lingkungan alamiah usahatani pangannya. Sebagai akibat, produktivitas pangan cenderung bervariasi antar musim (waktu) dan lokasi.
Oleh karena itu, ketersediaan pangan yang stabil memerlukan sistem manajemen logistik dan distribusi pangan yang dapat secara efektif dan efisien menselaraskan disparitas produksi dan konsumsi pangan antar waktu dan tempat. Untuk menjamin stabilitas ketersediaan pangan sepanjang tahun, The ASEAN Food Security Information and Training Center  menyarankan rasio cadangan pangan terhadap kebutuhan domestik minimal  20 persen untuk menstabilkan ketersediaan pangan sepanjang tahun.
 Aspek Aksesibilitas Pangan
Ketersediaan pangan yang cukup dan stabil lintas waktu dan wilayah saja belumlah dapat menjamin  bahwa setiap orang akan memperoleh pangan yang dibutuhkannya. Jumlah dan kualitas pangan yang dibutuhkan seorang acapkali bervariasi antara satu dan lainnya, sesuai dengan selera, perilaku makan, budaya, kepercayaan, dan agama. Ada yang suka makan nasi, gandum, jagung ataupun ubi sebagai makanan pokok. Ada makan sebanyak 3x sehari dan ada yang 2x sehari. Ada yang makan dalam jumlah banyak saat makan siang dan ada yang saat malam hari. Sementara itu, kemampuan seseorang untuk memproleh makanan yang dibutuhkannya dipengaruhi oleh kapasitas ekonomis dan sosialnya, disamping ketersediaan pangan itu sendiri di dalam wilayah jangkauan fisiknya.
Pada masa sekarang, bahan pangan merupakan komoditas ekonomis dan kebanyakan orang tidak memproduksi sendiri bahan pangan yang dibutuhkannya, seseorang yang tidak memiliki daya beli umumnya akan menghadapi kesulitan untuk memproleh bahan pangan yang dibutuhkannya. Pada masyarakat tertentu masih terdapat nilai sosial dimana penyuguhan pangan diutamakan pada anggota keluarga yang produktif, lelaki, ataupun yang terhormat. Dalam masyarakat demikian dan bila persediaan pangan keluarga terbatas maka anggota keluarga yang tidak produktif, wanita dan anak akan memproleh makanan yang kurang dari cukup  Upaya penguatan ketahanan pangan, karenanya;  perlu memperhatikan hal-hal terkait dengan aspek akses penduduk terhadap pangan berikut: aksesibilitas secara fisik, aksesibilitas secara ekonomis, aksesibilitas secara sosial, selera makan, tingkah laku makan, budaya makan, serta nilai-nilai kepercayaan dan agama terkait dengan makanan.
 Aspek Penggunaan Pangan
Untuk hidup sehat dan aktif seseorang perlu mengkonsumsi pangan yang higenis, dan mengandung gizi memenuhi kebutuhan asupan gizi tubuhnya. Standar kecukupan asupan gizi yang berlaku di Indonesia, misalnya, adalah sebanyak 2.000 kilo kalori pet kapita per hari. Pangan yang higienis baru diproleh bila kebersihannya terjaga dari kontaminasi bahan-bahan beracun dan bibit penyakit. Pangan dengan kandungan gizi yang cukup diproleh dengan mengkonsumsi makanan yang berbahan mengandung gizi dalam jumlah cukup, berimbang, dan tidak mengalami penyusutan dalam proses pengolahannya. Oleh karena itu, pada tingkat mikro, upaya penguatan ketahanan pangan juga perlu memperhatikan kecukupan asupan gizi, pola konsumsi pangan, kualitas pengolahan pangan, kualitas air, dan sanitasi lingkungan, disamping kecukupan perolehan kebutuhan pangan penduduknya. 
Problem Pokok Ketahanan Pangan di Indonesia
 Ketahanan pangan belum mantap
Terdapat beberapa indikator makro dan mirko yang menyatakan bahwa ketahanan pangan Indonesia masih belum mantap. Rata-rata rasio cadangan pangan terhadap penggunaan dalam negeri Indonesia baru mencapai 4.38,  jauh dibawah standar yang minimal sebesar 20 persen. Swasembada pangan (beras) hanya tercapai 2 x kali (tahun 1984 dan 2008) dalam periode 30 tahun terakhir. Sementara itu peluang pemenuhan defisit cadangan pangan dari impor diperkirakan menurun seiring dengan penurunan produksi global sebagai akibat perubahan iklim global. Rata-rata asupan gizi penduduk berada di bawah standar anjuran ( dengan skor pola pangan harapan 83.1 tahun 2007). Terdapat indikasi bahwa tingkat keamanan pangan masih rendah dan kerawanan pangan dengan terjadinya insiden keracunan makanan dan kasus gizi kurang di beberapa tempat seperti NTB dan NTT. 
 Pola konsumsi pangan yang tidak terdiversifikasi
Pola konsumsi pangan penduduk Indonesia didominasi oleh beras. Data SUSENAS 2008 menunjukkan bahwa konsumsi beras penduduk Indonesia saat ini adalah sekitar 107.8 kg/kapita/tahun. Dari jumlah itu yang langsung dari beras dimasak (nasi) adalah sekitar 88 persen. Sisanya adalah beras dalam bentuk tepung, makanan olahan, beras ketan, dan sebagainya. Lebih dari setengah dari asupan energi dan hampir setengah dari asupan protein penduduk Indonesia bersumber dari konsumsi beras. Ketergantungan yang berlebihan pada satu jenis komoditas adalah rawan dan keliru, baik dipandang dari sisi produksi maupun dari sisi konsumsi. Dari sisi produksi, kerawanan disebabkan oleh daya dukung faktor-faktor kapasitas produksi yang semakin terbatas, seperti: luas lahan sawah beririgasi, ketersediaan air irigasi, dan teknologi berdaya hasil tinggi. Dari sisi konsumsi, ketergantungan pada pangan beras tersebut mengurangi spektrum pilihan komoditas yang mestinya dapat dimanfaatkan untuk pangan. Padahal sebagai negara yang berada di dalam wilayah tropis, Indonesia memiliki daya dukung pangan alamiah yang relatif kaya. Upaya mendorong diversifikasi pangan telah mulai dilakukan (Perpres No. 22 Tahun 2009) namun perkembangannya masih jauh dari harapan.
 Secara ekonomis banyak penduduk memiliki akses pangan yang lemah
Meskipun terdapat kecenderungan yang menurun, jumlah penduduk Indonesia yang secara ekonomis hidup dalam keadaan kurang mampu untuk memproleh pangan cukup adalah masih relatif banyak. Hal ini tercermin oleh angka kemiskinan yang relatif tinggi. Statistik kemiskinan nasional menunjukan bahwa angka kemiskinan pada tahun 2008 adalah sekitar 15.1 persen, dan perkiraan untuk tahun 2015 masih 10.6 persen atau sebanyak 26.3 juta orang.
 Urbanisani dan kemiskinan perkotaan yang tinggi menuntut harga pangan murah tapi menekan pendapatan petani produsen
Angka kemiskinan yang tinggi (di atas) dan tingkat urbanisasi yang cepat dalam sepuluh tahun terakhir mengharuskan pemerintah Indonesia untuk sedapat mungkin mengendalikan harga pangan (beras) yang rendah demi menjaga ketahanan pangan nasional. Mekanisme yang ditempuh, diantaranya adalah dengan memberikan subsidi harga pupuk dan bibit kepada petani produsen, menetapkan harga dasar gabah, dan melakukan operasi pasar beras. Namun, harga pangan yang stabil murah ini pada gilirannya akan menekan pendapatan relatif petani produsen pada tingkat yang rendah mengingat rata-rata luas unit usahatani per petani sempit dan nilai tukar petani yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Situasi ini dapat mengurangi insentif petani produsen untuk menggunakan sumberdayanya secara maksimal untuk memproduksi padi.  
Strategi ketahanan Pangan di Indonesia
Indonesia adalah bangsa yang memiliki komtmen yang kuat pada ketahanan pangan tersurat dalam berbagai dokumen negara.  UUD 1945 (Pasal 27 Ayat 2, Pasal 33Ayat 3 dan Pasal 34) secara implisit memberikan jaminan pada setiap penduduk Indonesia berhak atas kecukupan pangan yang menyehatkan. Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 (Pasal 1) mengatur penyediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau bagi setiap rumah tangga di Indonesia. Upaya peningkatan status gizi masyarakat sekaligus mengurangi ketergantunggan pada beras melalui diversifikasi pangan diatur dalam Keppres No. 22 Tahun 2009.
Dari peraturan perundangan tentang pangan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa paradigma ketahanan pangan yang dianut oleh Indonesia: terpenuhinya kebutuhan pangan untuk hidup sehat dari setiap penduduk Indonesia sesuai dengan selera dan keyakinannya sepanjang waktu. Paradigma ini menjiwai visi dan misi dari strategi ketahanan nasional. Strategi umum ketahanan pangan Indonesia adalah berpenekanan pada swasembada pangan. UU No.7 Tahun 1996 (Pasal 3) mengandung tiga misi berikut:  (a) menyediakan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia; (b) menciptakan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab; (c) mewujudkan tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan keyakinan masyarakat.
Pada sub-sistim produksi, kebijakan yang ditempuh meliputi: intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi dan diversifikasi guna terwujudnya swasembada pangan. Pada subsitem pengadaan dan distribusi, kebijakan yang ditempuh meliputi: stabilisasi cadangan dan harga nasional. Pada subsitem konsumsi pangan, kebijakan yang ditempuh antara lain pengaturan dan pengawasan keamanan pangan dan pola makan sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda, dengan senang hati, silakan Anda memberikan komentar untuk artikel ini.