#trik_pojok { position:fixed;_position:absolute;bottom:0px; left:0px; clip:inherit; _top:expression(document.documentElement.scrollTop+ document.documentElement.clientHeight-this.clientHeight); _left:expression(document.documentElement.scrollLeft+ document.documentElement.clientWidth - offsetWidth); }

Refleksi Menatap Masa Depan

Selamat Datang,,, Be Life Excellence... Hiduplah untuk yang Maha Hidup...

Sabtu, 26 Februari 2011

Katahanan vs Kedaulatan Pangan


Program Pangan Dunia (World Food Program /WFP) mengharapkan Indonesia terus memperkuat perannya dalam isu ketahanan pangan global di berbagi forum multilateral, khususnya dengan memanfaatkan posisinya sebagai anggota G20.
Harapan itu disampaikan Direktur Pelaksana WFP Ms. Jossette Sheeran saat menerima kunjungan Menko Kesra Agung Laksono di Markas WFP, Roma, ujar Counsellor Pensosbud KBRI Roma, Musurifun Lajawa kepada koresponden Antara London, Rabu.
WFP merupakan lembaga bantuan kemanusian PBB terbesar di dunia, khususnya dalam hal bantuan pangan dan nutrisi.
Sepintas apabila kita memperhatikan penggalan berita di atas terlihat seolah - olah Indonesia sudah aman dalam mengatasi permasalahan pangan. Maka Indonesia tinggal memperkuat posisi dalam tataran loby pangan International. Namun cerita indah tentang lobby International ini hanya sesaat saja jika melihat realitas kelaparan yang sering terjadi di negara Agraris ini.
Secara defenisi Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996). Sementara USAID (1992) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai satu kondisi dimana masyarakat pada satu yang bersamaan memiliki akses yang cukup baik secara fisik maupun ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dietary dalam rangka untuk peningkatan kesehatan dan hidup yang lebih produktif. Apabila kita perhatikan dalam defenisi ketahanan pangan sama sekali tidak terdapat kata atau kalimat yang mengisyaratkan siapa sebenarnya yang harus memenuhi pangan suatu bangsa dan darimana sebenarnya sumber pokok pangan suatu bangsa. Inilah sebenarnya yang menjadi momok mengerikan kebijakan impor pangan bangsa Indonesia karena tidak jelas siapa penyedia pangan bangsa yang populasi  penduduknya sudah  mencapai 240 juta orang ini..
Kedaulatan pangan.
Pradigma Kedaulatan pangan sebenarnya bukan sesuatu yang baru jika kita “aware” dengan nilai - nilai dari mandat konstitusi. Tentu masih kuat dalam ingatan kita tentang Undang - Undang Pokok Agraria no 5/1960, yang mengejewantahkan Kedaulatan pangan. Namun sayang, UUPA ini pun termasuk UU yang dikangkangi.
Selain ditinggalkannya UUPA ini, persoalan konversi lahan untuk kepentingan industri (yang jelas - jelas tidak menyangkut kebutuhan dasar bangsa Indonesia) juga semakin marak, harga jual produk yang dihasilkan petani yang tidak dijamin oleh pemerintah dan hasil pertanian hanya dijadikan komoditi perdagangan Internasional (bukan memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga /lokal) semakin menambah daftar panjang menuju ketidakberdaulatan pangan kita. Apalagi jika menghitung luas lahan yang dimiliki petani maka semakin “sahih” argumen untuk melakukan impor pangan.
Sudah saatnya Mazhab Agribisnis dan Ketahanan pangan didekonstruksi dengan Mazhab Agroeklogi dan Kedaulatan Pangan. Karena persolan pangan bukan hanya bagaimana memenuhi pangan dalam negeri tanpa memikirkan dari mana asalnya akan tetapi adanya jaminan  hak memproduksi pangan sendiri. Dengan adanya jaminan ini maka Lahan - lahan yang menjadi milik segelintir orang harus dibagikan kepada para petani untuk menciptakan  pertanian yang berkelanjutan guna mewujudkan kedaulatan pangan dan kedaulatan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda, dengan senang hati, silakan Anda memberikan komentar untuk artikel ini.